Isnin, 23 Mac 2009

Mendaki sebagai terapi


Empat bulan setelah pendakian masal, berat tubuhku menyusut, mukaku semakin kusut. Entah apa dan bagaimana itu bisa terjadi, entahlah. Namun, sejak saat itu aktifitas lari pagi yang kulakukan setiap minggunya praktis terhenti.
Bukan apa-apa, kasut yang kubeli 3 tahun yang lalu, menyerah kalah ketika pendakian masal bulan Mei yang lalu. Hingga kini aku masih tak mampu membeli yang baru, entahlah. Mungkin penurunan berat badan yang kualami diakibatkan terhentinya aktifitas lari sebagai olah raga. Ah, masa sih, bukankah olah raga justru menurunkan berat badan? Bagi sebagian orang mungkin terjadi, namun bagi sebagian yang lain malah sebaliknya. Berlari, bagiku hanya sebagai pengganti mendaki. Padahal, mendaki takan bisa diganti dengan aktifitas lain. Ya ... mau bagaimana lagi .... Mendaki gunung memerlukan kondisi fisik yang cukup prima. Tapi fisik saja tidak cukup, kondisi mentalpun memiliki peran yang sangat penting. Kondisi mental meliputi pikiran yang letaknya di kepala yang tugasnya mengkalkulasi, menghitung, dan mempertimbangkan segala keputusan berdasarkan informasi yang ditangkap panca indera.
Kondisi mental juga meliputi jiwa, yang letaknya di dalam dada, memiliki sifat perasa dan mampu menangkap sesuatu di luar jangkauan logika. Jiwa itu memiliki tugas sebagai bara yang mampu menghangatkan raga. Dalam pengambilan keputusannya, selalu berdasarkan intuisi, naluri, dan kepercayaan, tanpa perlu pembuktian maupun perhitungan matematis.
Kedua perangkat mental tersebut dalam pelaksanaanya saling mempengaruhi, saling melengkapi, dan saling mengimbangi.Pada akhirnya setiap keputusan yang keluar, berdasarkan kecenderunganya pada salah satunya, atau bisa juga kedua-duanya.
Nah, hasil keputusan inilah yang pada akhirnya akan dilaksanakan oleh raganya. Sehingga terkadang ada orang yang melakukan gerakan tanpa disadarinya, produk dari jiwanya, dan kita sering menyebut dengan gerakan reflek. Namun, jika ada orang yang melompati sebuah lubang dan sebelumnya orang tersebut melakukan perkiraan-perkiraan, berarti orang tersebut mengambil keputusan berdasarkan kepalanya.
Dalam mendaki gunung, kita memerlukan semua perangkat tersebut, raga, pikiran, dan jiwanya. Jika ada masalah dengan salah satunya, secara otomatis pendakian yang dilakukan akan terasa menyakitkan, menakutkan, dan membahayakan. Dan pendakian seperti itulah yang berpotensi menggiring ke arah kehilangan nyawa, meskipun kita harus meyakini kematian merupakan urusan Yang Maha Kuasa.
Seorang pendaki harus dapat memaksimalkan perangkat-perangkat tersebut. Mereka berolah-raga untuk menjaga kesiapan fisiknya, kalaupun tidak, mereka melakukan pendakian secara rutin dan berkala, karena bagi orang macam itu, mendaki adalah olah-raganya. Untuk mengisi kepalanya, para pendaki selalu mencari pengetahuan, teknik-teknik atau cara-cara baru yang dapat membantunya dalam berkegiatannya. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menambah kapasitas pikirannya, ikut klub-klub atau komunitas penggiat alam, diskusi, ataupun dari media-media yang ada. Nah, yang ke tiga inilah yang paling sulit, karena dibutuhkan kesadaran diri tentang siapa dirinya, tentang bagaimana seharusnya bersikap, berkarakter, berperilaku sesuai dengan pilihannya sebagai pendaki. Yang ketiga inilah yang perlu dicari, digali oleh masing-masing diri, Melalui pengalamannya sendiri, dan dari kehidupannya sendiri. Jiwa inilah yang seharusnya dapat lebih dihayati dan dimaknai, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya ketika jiwa telah terasuki mental, karakter seorang pendaki, maka takperlu lagi kita mendaki gunung-gunung tertinggi, karena ketinggian letaknya pada saat kita mampu menjadi diri, berbagi dan mengisi kehidupan menjadi manusia yang lebih baik.

Untuk para pendaki yang tak memiliki kesempatan untuk mendaki dan mempelajari cara-cara baru, namun di dalam jiwanya terdapat bara yang mampu menerangi hingga tempat tertinggi, kalian tetap pendaki, kalian tetap saudaraku. Brotherhood forever ...

1 ulasan: