Posted by Tajid Yakub on July 18th, 2006
Tulisan soal mendaki gunung di rubrik Muda harian KOMPAS. Narasumbernya Perdana Giri Kusuma, anggota MAPALA UI. Jumat, 25 Oktober 2002. Maunya mendapati hal-hal baru dan kepuasan. Yang terjadi justru celaka. Betulkah gunung menyeramkan? Kenapa masih ada juga korban tewas?
“Dari kecil gue memang bercita-cita mau mendaki gunung. Rasanya asyik. Kesannya gagah, gitu,” kata Ferdian, anggota kelompok pencinta alam Sadagori, SMU 5 Bandung. Sudah tiga gunung ia daki.
Buat sejumlah pendaki gunung, tentu akrab dengan ungkapan George Leigh-Mallory. “Because it is there,” ujar pendaki legendaris asal Inggris itu. Ungkapan ini seolah menjadi pemicu semangat para pendaki gunung.
Di Indonesia pun begitu. Hampir semua kelompok pencinta alam mengawali kegiatannya dengan mendaki gunung. Alasannya tiada lain, karena kegiatan alam bebas ini paling gampang dilakukan. Bandingkan dengan arung jeram, panjat tebing, atau penelusuran goa, misalnya. Selain medannya yang lebih sulit ditemui, juga tiga kegiatan tersebut memerlukan latihan dasar dan kekuatan fisik lebih.
Sudah begitu, mendaki gunung juga relatif murah dilakukan. Ongkosnya tak mahal. Bahkan, kalau kita sempat jalan ke Cipanas, masih ada saja pendaki yang bermodal jempol tangan untuk transport, alias menghentikan truk di pinggir jalan untuk ditebengi.
Peralatannya pun tak sebanyak kegiatan outdoor activity lainnya. Cukup tas ransel, tenda, jaket, dan sepatu. Semuanya tak sulit dicari. Pendeknya, kita tinggal lenggang kangkung kalau mau mendaki gunung. Makanya, tak heran jumlah wisatawan yang mendaki gunung makin banyak saja.
Gunung Gede (2958 mdpl) dan Pangrango (3019 mdpl) saban akhir minggu padat pendaki. Begitu pula gunung lainnya di Pulau Jawa. Bahkan pada setiap 17 Agustus, ratusan bahkan ribuan pendaki menggelar upacara Hari Proklamasi di puncak gunung. Rute pendakian seperti jalur lalu lintas saja.
Ini membuktikan bahwa mendaki gunung memang kegiatan alam bebas yang paling populer. “Mendaki gunung sama sekali tidak membahayakan,” ujar Perdana Giri Kusuma, anggota MAPALA UI.
Pantas jika Ferdian merasa seperti ketagihan. Bilangnya, mendaki gunung seperti halnya mencari hiburan. “Kalo udah di gunung lupa segalanya. Nggak stres,” kata siswa kelas 2 SMU ini. Temannya bernama Mosha Rahman juga berpendapat seragam. Selain pengalaman yang didapat, “Gue juga dapat kepuasan,” sahutnya.
Tapi, siapa sangka di balik kepopuleran dan kepuasan itu, justru mendatangkan korban. Tempo hari, tepatnya pada Minggu (6/10), Gunung Salak kembali memakan korban. Mad Rizal, remaja 18 tahun tewas lantaran diduga kedinginan dan menghirup gas belerang yang dihasilkan dari kawah gunung bertinggi 2211 mdpl.
Gas belerang
Benarkah di Gunung Salak terdapat gas belerang?
“Ada. Persisnya di Kawah Ratu,” jelas Antonius Satyo, Ketua Umum Wanadri. Namun, menurut Perdana, gas yang dikeluarkan gunung itu sebenarnya tak membahayakan. Itu kalau kita tahu lokasi mana yang membahayakan.
Tapi bagaimana dengan kasus di Gunung Salak? Yang menjadi korban bukan cuma Mad Rizal. Enam orang rekan sependakian siswa salah sebuah SMU di Tangerang ini pun keracunan dan luka-luka. Dua di antaranya malah sempat pingsan di sekitar Kawah Ratu.
Kata pihak kepolisian sektor setempat, para pendaki ini tengah mengisi liburan dengan pendakian. Sewaktu mulai mendaki, perbekalan yang mereka bawa ditengarai kurang lengkap.
Tewasnya Mad Rizal menambah daftar pendaki yang tewas di gunung. Tim SAR Wanadri pada periode 2000-2002 mencatat beberapa peristiwa kecelakaan gunung. Umpamanya, pada 11 Februari 2001, lima orang meninggal akibat tersesat dan terjebak badai di Gunung Slamet. Sebulan kemudian, tepatnya pada 23 Maret, satu orang tewas akibat tersesat di Gunung Salak. Masih di tahun yang sama, dua bulan kemudian (20 Juli), Gunung Ciremai (3078 mdpl) meminta korban dua orang tewas terjatuh ke kawah.
Sementara, yang tidak diketahui tanggal pastinya, ada tiga peristiwa. Antara lain di Gunung Gede (3 orang tersesat, 2 di antaranya tewas), Gunung Ciremai (1 orang tewas terjatuh ke jurang), dan Gunung Semeru yang bertinggi 3676 mdpl (1 orang meninggal karena tersesat). Dua bulan sebelum peristiwa tewasnya Mad Rizal, giliran Gunung Merapi (2921 mdpl) makan korban 1 orang tewas lantaran tersesat.
Data lainnya yang dipunya SAR Wanadri menyebutkan ada pula yang korbannya tak sampai meninggal. Seperti dua orang yang tersesat di Gunung Argopuro (3089 mdpl) pada 15 Maret 2000 dan dua orang warga negara Jerman yang tersesat di Gunung Gede pada 18 Januari 2001.
“Rem pakem”
Dari catatan peristiwa kelabu ini, membuktikan bahwa umumnya disebabkan oleh faktor manusia. “Yang utama karena kesalahan diri sendiri,” tegas Antonius.
“Banyak anak sekolah yang menyepelekan kondisi alam di gunung. Mereka berangkat tanpa tujuan jelas, membawa peralatan seadanya, dan persiapan minim,” tambah Perdana.
Kata Antonius, ada julukan yang kerap disandangkan ke pendaki yang asal-asalan. “Namanya Rem Pakem alias Remaja Pencinta Kemping,” lanjutnya. Maksudnya adalah pendaki yang datang dan sekadar menikmati pemandangan. “Mereka kurang paham, kalau di balik itu (pendakian) ada bahayanya,” sambungnya.
Bahaya yang kerap datang persis seperti yang dialami Mad Rizal tadi. Tak bisa dipungkiri, gunung-gunung di Pulau Jawa kebanyakan masih menyimpan belerang aktif. Belerang yang tersimpan di kawah ini menghasilkan gas yang bisa mengganggu pernapasan.
“Orang kadang nggak tahu. Begitu sampai puncak, merasa capek, terus tidur-tiduran. Dia nggak tau kalau di situ dekat sumber belerang,” jelas Antonius. Pada saat itulah orang lantas menghirup gas tanpa sadar. Tiba-tiba kepala terasa pening dan mual hebat.
Padahal, sebetulnya kita bisa lebih waspada. “Kalau nggak ada makhluk hidup di sekitarnya, berarti ada kemungkinan di situ ada gas beracun atau belerang,” tandas Perdana.
Memang, pada rute-rute pendakian gunung di Pulau Jawa, jarang sekali ditemui binatang buas atau kondisi alam yang benar-benar berat. “Sepengetahuan gue, kondisi gunung-gunung di Jawa itu relatif aman,” terang Perdana yang sudah 12 tahun tergabung di pencinta alam.
Karena aman-aman saja, tak heran kalau kemudian banyak pendaki kurang awas. Di sisi lain, faktor alam seringkali justru menjadi halangan. Sikap tak hati-hati inilah yang membuat pendaki justru “dipermainkan” oleh alam itu sendiri. Seperti cuaca yang kerap susah ditebak. Cuaca yang semula bersahabat, tiba-tiba berubah menjadi musuh. “Cuaca yang buruk seperti hujan deras, angin kencang, dan kabut bisa saja terjadi,” kata Perdana.
Sudah banyak terjadi hal begini. Perubahan cuaca di gunung umumnya diiringi dengan perubahan suhu udara yang drastis dan sangat dingin.
Tidak Punya Kasut Baru
-
Dulu-dulu saya sering merungut apabila mak dan abah tak mampu membeli
sepasang kasut baru berjenama untuk dipakai seperti yang dipakai oleh
kawan-kawan ya...
8 tahun yang lalu
Tiada ulasan:
Catat Ulasan