Ahad, 22 Mac 2009

Gaya Himalayan dan Alpine di Tebing Besar

Posted by Tajid Yakub on July 18th, 2006
“Panjat tebing lebih dari sekadar olahraga,” tulis John Long dalam bukunya Face Climbing: How to Rock Climbing. Khusus buat mereka yang gemar melakukan pemanjatan big wall (tebing berukuran besar), pendapat itu boleh jadi benar. Dari Tabloid GO, Jumat, 29 November 1996.
GAYA HIMALAYAN DAN ALPINE DI TEBING BESARGO, Jumat, 29 November 1996
“Panjat tebing lebih dari sekadar olahraga,” tulis John Long dalam bukunya Face Climbing: How to Rock Climbing. Khusus buat mereka yang gemar melakukan pemanjatan big wall (tebing berukuran besar), pendapat itu boleh jadi benar. Di sana, kadar petualangan terasa lebih pekat dan dekat dengan pelaku.
Pemanjatan big wall menyodorkan masalah lebih kompleks. Karenanya, segala kemungkinan mesti dikalkulasi dengan cermat dan hati-hati. Mulai dari latihan pada masa persiapan, perencanaan jalur, menyiapkan peralatan, logistik, menghitung waktu, serta menerapkan strategi paling sesuai dengan kemampuan tim yang ada dan ditunjangdengan riset mengenai obyek pemanjatan, misalnya, jenis dan karakter batuan dan cuaca setempat.
Bermain di big wall bisa berarti merintis jalur, mengamankan perintis jalur (belaying) atau tergantung-gantung pada seutas tali, sementara tanah di bawah berjarak sampai ratusan meter siap menanti pemanjat yang lalai.
Dari bawah, sering para pemanjat hanya tampak bagai noktah kecil dibanding ukuran tebing tempat mereka beraktivitas. Pekerjaan itu ternyata sangat membutuhkan kesiapan mental dan keberanian tersendiri.
Tapi, tidak asal berani. Pasalnya, di big wall, perbedaan antara berani, nekat, dan bodoh cuma setipis kulit ari. Hanya “si aktor‿ sendiri yang betul-betul tahu apa yang sedang diperbuatnya. Salah sedikit, tubuh akan terempas dan membentur kerasnya batuan. Prosedur keamanan tak boleh diabaikan.
Itulah sekelumit dari banyak pelajaran yang ditelan calon anggota baru Mapala UI dengan bidang minat panjat tebing selama tujuh hari melakukan pemanjatan di Watu Lingga, Trenggalek, Jawa Timur, 1-8 Agustus 1996. Sebelumnya, sudah banyak teori masuk kepala. Tapi, yang terpenting tentulah merasakan sendiri kondisi sesungguhnya.
***
Dalam dunia pendakian gunung dan panjat tebing dikenal dua macam gaya: Himalayan dan Alpine. Dua gaya pendakian itu merupakan cara pendaki mencapai puncak tujuannya.
Himalaya merupakan kawasan pegunungan yang memiliki puncak-puncak tinggi dengan kondisi ekstrim. Empat belas puncak tertinggi di atas 8.000 meter ada di sana. Para pendaki gunung di kawasan Himalaya menyiasati kesulitan itu dengan cara bertahap membangun kemah perantara dan menimbun logistik berupa perlengkapan, alat-alat pendakian, dan bahan makanan untuk membangun kemah perantara berikutnya sampai kemah akhir menjelang puncak.
Mau tidak mau, pendaki dengan gaya Himalayan mesti turun-naik dari kemah induk menuju kemah-kemah perantara. Gaya pendakian berulangulang itu sering disebut Siege Tactic. Karena itu, butuh waktu pendakian yang lama, selain alat, biaya, dan personil lebih banyak.
Kebalikannya adalah gaya Alpine yang berasal dari kawasan Pegunungan Alpen, Eropa, dengan puncak-puncak berketinggian “hanya‿ 4.000-an meter. Hal itu memungkinkan para pendaki mencapai puncak dengan sekali jalan tanpa perlu membuat kemah-kemah perantara atau bolak-balik ke kemah induk. Syaratnya, harus memiliki kemampuan yang baik. Alat dan perbekalan disusun seefisien mungkin agar ringan dan dapat langsung diangkut pendaki sampai puncak. Dengan gaya Alpine, dibutuhkan alat pendakian, biaya, dan waktu lebih sedikit.
Tim Mapala UI mencoba mengadopsi gaya Himalayan, kemudian menerapkannya dalam pemanjatan Tebing Watu Lingga. Salah satu pertimbangannya karena anggota tim cukup banyak dan masih dalam proses belajar. Aasan lain adalah berlatih penguasaan teknis pemasangan tali tetap yang menghubungkan tim pemanjat dengan tim pendukung di kemah induk. Secara bertahap, tim berusaha membentangkannya dari kaki tebing sampai puncak, dengan membuat beberapa pitch (perhentian sementara).
Lewat tali tetap, yang menghubungkan kemah induk dengan jalur pemanjatan sampai puncak, sirkulasi tugas antara tim pemanjat dengan tim pendukung di bawah dapat dilakukan setiap hari. Dan, jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, dapat segera dilakukan pertolongan keselamatan. Hal itu akan jadi sukar dan lebih berisiko bila dilakukan dengan gaya Alpine karena hubungan dengan kemah induk terputus.
***
Pemilihan gaya pemanjatan perlu disesuaikan dengan kemampuan tim yang ada, apakah akan menggunakan gaya Himalayan atau Alpine. Pendaki besar seperti Reinhold Messner dengan kemampuan yang luar biasa telah membuktikan hal itu. Messner pernah memakai gaya Alpine secara solo ke Puncak Everest yang oleh tim lain harus dilakukan dengan gaya Himalayan dan menggunakan bantuan para sherpa sebagai pengangkut barang.
Terlepas dari apakah gaya Himalayan atau Alpine yang digunakan, satu hal yang lebih penting untuk mencapai tujuan adalah apa yang disebut team work (kerja sama tim). Itu menyangkut, kerja sama dan koordinasi antarpemanjat (Alpine) serta antara tim pemanjat dan tim pendukung di kemah induk (Himalayan).
Bagi para pendaki gunung atau pemanjat tebing profesional, kerja sama tim bukan lagi masalah. Sebuah ekspedisi tim AS di Himalaya yang dipimpin pendaki kenamaan Chris Bonington adalah sebuah contoh. Setiap pergantian tugas atau pekerjaan tiap pos di tim besar mereka dilakukan tanpa friksi sedikit pun. Bahkan, tanpa banyak bicara karena semua menyerti tugasnya masing-masing.
Tapi, masalah lain bisa saja muncul begitu puncak sudah terasa dekat.
“Semua pendaki gunung itu egois,” kata seorang rekan suatu kali. Alasannya, mereka ingin dirinyalah yang sampai puncak. Padahal, kerap terjadi, tidak mungkin seluruh anggota tim berbondong-bondong tiba di sana. Mungkin lebih baik merefleksi kembali tujuan pemanjatan itu sendiri.
Di sinilah makna kerja sama tim. Keberhasilan beberapa personil adalah keberhasilan seluruh anggota tim karena semua menunjang tercapainya tujuan lewat pos tugasnya masing-masing. Jika sudah begitu, tak ada anggota yang perlu menaikkan ujung dagu karena merasa andilnya paling besar. *** Reynold Sumayku/Agung Sutiastoro

1 ulasan: